Selasa, 29 Mei 2012

LAPORAN PRAKTIKUM BUDIDAYA PAKAN ALAMI


I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pakan atau makanan merupakan salah satu komponen terpenting untuk kehidupan suatu organisme atau makhluk hidup, dimana pakan atau makanan tersebut merupakan salah satu penghasil energi untuk melakukan segala aktifitas, dalam hal ini terhadap kelangsungan hidup organisme akuatik, salah satunya yaitu ikan yang masih dalam tahap benih. Ukuran tubuh ikan yang masih benih, tentunya untuk pakannya sendiri, harus sangat memerlukan tekstur pakan yang sangat kecil dengan kata lain harus memerlukan pakan yang sesuai dengan bukaan mulut ikan, baik itu pakan buatan seperti pelet maupun pakan hidup atau alami seperti plankton dan organisme mikroskopis lainya.
Umumnya, khususnya dalam budidaya ikan, untuk pemberian pakannya sendiri dalam hal ini terhadap benih ikan yaitu dengan menggunakan pakan hidup, salah satu contohnya yaitu pakan Artemia. Artemia merupakan salah satu makanan hidup yang sampai saat ini paling banyak digunakan dalam usaha budidaya seperti udang dan ikan, khususnya dalam pengelolaan pembenihan, yang dikarenakan sangat banyak memiliki kelebihan dibanding dengan jenis pakan lainya baik dari mekanisme pengelolaanya  maupun tingkat kandungan nutrisinya seperti kaya akan protein.
Keunggulan Artemia tidak hanya pada nilai nutrisinya, tetapi juga karena mempunyai kerangka luar (eksoskeleton) yang sanga tipis, sehingga dapat dicerna seluruhnya oleh hewan pemangsa. Melihat keunggulan nutrisi Artemia dibandingkan dengan jenis makanan lainnya, maka Artemia merupakan makanan udang dan ikan yang sangat baik jika digunakan sebagai makanan hidup maupun sumber protein utama makanan buatan. Untuk itulah kultur massal Artemia memegang peranan sangat penting dan dapat dijadikan usaha industri tersendiri dalam kaitannya dengan suplai makanan hidup maupun bahan dasar utama makanan buatan.


Pada proses kultur Artemia,  kepadatan serta warna air menjadi indikator banyakanya cyst atau cangkang yang menetas. Oleh karena itu para pembudidaya harus benar – benar mengelolah dengan baik untuk hasil yang maksimal. Dalam proses penetasan tersebut, ada yang dikatakan proses dekapsulasi dan non dekapsulasi. Proses dekapsulasi yaitu merupakan proses dimana dalam mekanismenya menggunakan bahan kimia sedangkan non dekapsulasi tidak menggunakan hal tersebut. Kepadatan yang dihasilkan tentu pasti akan berbeda,  oleh karena itu perlu dilakukannya praktek mengenai penetasan Artemia dengan mengunakan dua perlakuan berbeda agar praktikan dapat mengetahui secara langsung tentang mekanisme serta hasilnya dalam hal ini kuantitas atau jumlah Artemia yang menetas.

1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan praktikum yaitu sebagai berikut :
1.    Untuk mempelajari cara – cara pengkulturan Artemia dengan proses dekapsulasi dan non dekapsulasi pada Artemia sebelum dilakukan pengkulturan.
2.    Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dekapsulasi dan non dekapsulasi terhadap tingkat penetasan kista Artemia yang dikultur.
Kegunaanya yaitu  Sebagai tambahan ilmu pengetahuan secara langsung kepada praktikan tentang seberapa besar pengaruh dari perlakuan dekapsulasi dan non dekapsulasi terhadap Hatching Rate Artemia sp.









II. TINJAUAN PUSTAKA
Artemia merupakan udang renik yang tergolong udang primitif. Zooplankton ini hidup secara planktonik di perairan yang berkadar garam tinggi yakni antara 15 – 300 permil. Sebagai plankton, Artemia tidak dapat mempertahankan diri terhadap pemangsanya sebab tidak mempunyai alat ataupun cara untuk membela diri (Mudjiman, 2007).


 





                                                                                
                        Gambar 1. Artemia
Menurut Bougis (2008) klasifikasi Artemia  adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia.
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Class : Branchiopoda
Order : Anostraca
Family : Artemiidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia sp




Kista merupakan tempat atau telur dari Artemia yang berbentuk bulat kecil dan berwarna coklat. Diameternya bervariasi antara 224,7-267,0 mikrometer (µm) dan beratnya rata-rata 1,885 mikrorogram (µg).  Secara anatomi, susunan kista Artemia terdiri dari dua lapisan yaitu korion dan selaput embrio.  Selaput ini adalah semacam membran atau selaput yang membungkus embrio (Harefa, 1996).


 











                           Gambar 2. Cyst Artemia
Cyste Artemia dapat menetas dalam waktu 24 - 48 jam dalam massa
inkubasi dan menjadi naupli. Cyste yang diperdagangkan adalah
Artemia yang telah dikeringkan dengan kadar air kurang dari 10% (Daulay, 1998).
Awal hidup Artemia dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah    15 - 20 jam pada suhu 25° C, kista akan menetas manjadi embrio.  Pada fase ini, embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna.  Setelah 12 jam menetas mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini Artemia sp. akan mulai makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada dasarnya Artemia sp. tidak memilih jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut tersedia di air dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya akan mencapi 500 kali dibandingakan biomas pada fase naupli (Purwakusuma, 2008).
 Menurut Daulay (1998), ada dua metode untuk dilakukan proses penetasan kista Artemia yaitu metode dekapsulasi dan non dekapsulasi. Metode tersebut bertujuan untuk menghilangkan lapisan terluar dari kista Artemia yang keras (korion). Perbedaan kedua metode tersebut hanya terdapat pada penambahan larutan seperti natrium hipoklorit terhadap metode dekapsulasi, sedangkan non dekapsulasi tanpa menggunakan larutan tambahan.
 Menurut Harefa (1996), untuk melakukan kegiatan penetasan diperlukan wadah dan perangkat suplai oksigen.  Adapun bentuk wadah untuk penetasan tersebut berupa kerucut dengan ukuran tergantung kebutuhan.  Suplai oksigen dijamin dengan dibuatnya sistem aerasi dalam wadah.  Kepadatan maksimatelur adalah 3 gr/ltr air.  Tingkat kepadatan optimal adalah sekitas 2 – 5 gr/ltr air.  Sebagai media tetas digunakan air yang di campur garam, dengan salinitas antara 30 – 35 ppt dan suhu air 250- 350C.  Dalam keadaan normal, kurang dari 48 jam kemudian telur akan menetas menjadi bentuk nauplius.













III. METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Pelaksanaan Praktikum Penetasan Artemia dilaksanakan pada Hari Kamis, Tanggal 19 April sampai Hari Jum’at Tanggal 20 April 2012. Dimulai pada Pukul 08.00 WIB. Bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako.

3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu sebagai berikut :
Tabel 1. Nama Alat Serta Kegunaanya.
No
Nama Alat
Kegunaan
1.
Botol plastik volume 1,5 liter
Untuk wadah penetasan
2.
Aerator
Untuk suplai oksigen
3.
Timbangan
Untuk menimbang takaran berat artemia
4.
Akuades
Untuk air pembersih
5.
Petri disk
Untuk wadah penghitungan artemia
6.
Beaker glass
Untuk wadah perendaman artemia
7.
Seser halus
Untuk alat penyaring
8.
Mikroskop
Untuk identifikasi artemia
9.
Lampu
Untuk sumber cahaya
10.
Pipet tetes
Untuk pengambilan sampel artemia
11.
Termometer
Untuk alat pengukur suhu
12.
Refraktometer
Untuk alat pengukur salinitas
13.
Alat tulis menulis
Untuk alat mencatat hasil yang diperoleh

Bahan yang digunakan yaitu Cyst / telur Artemia, air laut, air tawar dan larutan byclin.





3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Metode Dekapsulasi
Cara kerja dari metode dekapsulasi yaitu sebagai berikut :
1.    Timbang cyst Artemia yang akan ditetaskan sebanyak 3 gram/liter.
2.    Hitung kepadatan cyst yang akan ditetaskan.
3.    Hidrasi / rendam cyst dengan air tawar dalam beaker glass selama 1 jam.
4.    Saring Artemia dengan plankton net / seser halus lalu masukan ke dalam beaker glass yang telah berisi larutan cholorine ± 20 ml, aerasi kuat,tunggu hingga 5 menit, amati dan catat perubahan yang terjadi coklat tua > abu-abu> orange.
5.    Saring cyst dengan menggunakan saringan halus, lalu bilas dengan air tawar hingga bau klorin benar – benar hilang.
6.    Masukan cyst Artemia ke dalam wadah penetasan dengan aerasi kuat.
7.    Amati dan catat perkembangan cyst setiap 6 jam selama 24 jam.
8.    Hitung derajat penetasan Artemia.

3.1.2 Metode Non Dekapsulasi
Cara kerja dari metode non dekapsulasi yaitu sebagai berikut :
1.    Timbang cyst Artemia yang akan ditetaskan sebanyak 3 gram/liter.
2.    Hitung kepadatan cyst Artemia yang akan ditetaskan.
3.    Hidrasi / rendam cyst Artemia dengan air tawar dalam beaker glass selama 1 jam.
4.    Saring artemia dengan plankton net / seser halus dan memasukan ke dalam wadah / tempat penetasan yang telah disiapkan aerasi kuat.
5.    Amati dan catat perkembangan cyst setiap 6 jam selama 24 jam
6.    Hitung derajat penetasan.




IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berdasarkan hasil pengamatan praktikum, maka didapatkan hasil sebagai berikut :


 







Gambar 3. Wadah penetasan Artemia
Kelompok 1.
Hari/Tanggal/Waktu
Non Dekapsulasi
dekapsulasi
Kamis 19 April 2012
Pukul: 17:00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Kamis 19 April 2012
Pukul: 23:00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Jumat 20 April 2012
Pukul: 05:00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Kamis 20 April 2012
Pukul: 11: 00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.

Menentukan persen telur yang menetas  metode non dekapsulasi:
Telur yg menetas dlm 10 ml adl 59 ekor
N =
N = 5900

Dik N  = 5900
       C  = 878400
Dit HR= ?
      HR=
      HR=
      HR= 0,67 %

Menentukan persen telur yang menetas metode dekapsulasi:
Telur yg menetas dlm 10 ml adl 12 ekor:
N =
N = 1200

Dik N  = 1200
       C  = 878400
Dit HR= ?
      HR=
      HR=
      HR= 0,14 %

Kelompok 2.
Hari/Tanggal/Waktu
         Non Dekapsulasi
Dekapsulasi
Kamis 19 April 2012
Pukul: 17:00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Kamis 19 April 2012
Pukul: 23:00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Jumat 20 April 2012
Pukul: 05:00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Kamis 20 April 2012
Pukul: 11: 00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.

Menentukan persen telur yang menetas  metode non dekapsulasi:
Telur yg menetas dlm 10 ml adl 59 ekor
N =
N = 92800

Dik N  = 928
       C  = 878400
Dit HR= ?
      HR=
      HR=
      HR= 10,56 %

Kelompok 3.
Menentukan persen telur yang menetas metode dekapsulasi:
Telur yg menetas dlm 10 ml adl 12 ekor:
N =
N = 1700

Dik N  = 1700
       C  = 878400
Dit HR= ?
      HR=
      HR=
      HR= 0,19 %

Hari/Tanggal/Waktu
Non Dekapsulasi
Dekapsulasi
Kamis 19 April 2012
Pukul: 17:00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Kamis 19 April 2012
Pukul: 23:00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Jumat 20 April 2012
Pukul: 05:00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Kamis 20 April 2012
Pukul: 11: 00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.





Menentukan persen telur yang menetas  metode non dekapsulasi:
Telur yg menetas dlm 10 ml adl 59 ekor
N =
N = 57500

Dik N  = 57500
       C  = 878400
Dit HR= ?
      HR=
      HR=
      HR= 6,55 %


Kelompok 4.
Menentukan persen telur yang menetas metode dekapsulasi:
Telur yg menetas dlm 10 ml adl 12 ekor:
N =
N = 100

Dik N  = 100
       C  = 878400
Dit HR= ?
      HR=
      HR=
      HR= 0,01 %

Hari/Tanggal/Waktu
Non Dekapsulasi
Dekapsulasi
Kamis 19 April 2012
Pukul: 17:00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Kamis 19 April 2012
Pukul: 23:00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Jumat 20 April 2012
Pukul: 05:00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Kamis 20 April 2012
Pukul: 11: 00 Wita
1.
2.
3.
1.
2.
3.





Menentukan persen telur yang menetas  metode non dekapsulasi:
Telur yg menetas dlm 10 ml adl 59 ekor
N =
N = 22800

Dik N  = 22800
       C  = 878400
Dit HR= ?
      HR=
      HR=
      HR= 2.60 %

Menentukan persen telur yang menetas metode dekapsulasi:
Telur yg menetas dlm 10 ml adl 12 ekor:
N =
N = 2300

Dik N  = 2300
       C  = 878400
Dit HR= ?
      HR=
      HR=
      HR= 0.26 %





4.2 Pembahasan
4.2.1 Metode Dekapsulasi
Berdasarkan hasil pengamatan praktikum mengenai penetasan cyst Artemia dengan menggunakan metode dekapsulasi, dimana pada metode ini dilakukan penambahan larutan byclin sebanyak 25 ml, didapatkan hasil bahwa pada pukul 23.00 WITA yaitu pada pengamatan kedua berdasarkan hasil pengamatan, cyst sebagian sudah mengalami penetasan telur. Kemudian setelah 24 jam berlangsung, maka dilakukan penghitungan sampel cyst yang menetas, dimana  jumlah cyst yang menetas sebanyak 12 ekor atau hanya 0,14%, dengan salinitas 30 ppm dan suhu 280 C, dimana hasil tersebut merupakan gabungan pengambilan sampel sebanyak 10 kali.
Selanjutnya, jika dilakukan perbandingan hasil jumlah penetasan cyst artemia terhadap kelompok lain didapatkan hasil pada kelompok 2 jumlah cyst yang menetas yaitu 17 ekor = 0,19%, kelompok 3 yaitu 1 ekor = 0,01%, dan kelompok 4 dengan jumlah 23 ekor  = 0,26%. Jika dilihat dari hasil setiap kelompok tersebut, jumlah cyst yang paling banyak menetas yaitu pada kelompok 4, sedangkan untuk jumlah penetasan yang sedikit yaitu pada kelompok 3.
Berdasarkan hasil praktikum, setelah dilakukan pengamatan ternyata salah satu yang menjadi faktor  tinggi dan rendahnya jumlah cyst yang dihasilkan yaitu dipengaruhi oleh cahaya yang merupakan salah satu faktor pemicu penetasan artemia. Dimana untuk jumlah penetasan yang sedikit setelah dilakukan pengamatan pada saat perlakuan, cahaya atau lampu berada pada posisi paling bawah, sehingga artemia mengikuti arah cahaya tersebut berada pada posisi paling bawah, sedangkan dalam pengambilan sampel dengan menggunakan pipet tetes mengambil pada bagian tengah dari wadah penetasan artemia tersebut yang agak jauh dari cahaya, sehingga secara otomatis kuantitas atau jumlah hasil yang diperoleh sangat sedikit disbanding kelompok yang memiliki jumlah artemia yang banyak.
                     
4.2.2 Metode Non Dekapsulasi
Berdasarkan hasil pengamatan praktikum mengenai penetasan cyst Artemia dengan menggunakan metode non dekapsulasi, dimana pada metode ini tidak dilakukannya penambahan larutan byclin, didapatkan hasil bahwa pada pukul 17.00 WITA yaitu pada pengamatan pertama berdasarkan hasil pengamatan, cyst sebagian sudah mau mengalami penetasan telur, dimana terlihat sudah terjadi pembelahan cyst. Kemudian setelah 24 jam berlangsung, maka dilakukan penghitungan sampel cyst yang menetas, dimana  jumlah cyst yang menetas sebanyak 59 ekor atau hanya 0,67%, dengan salinitas 31 ppm dan suhu 290 C, dimana hasil tersebut merupakan gabungan pengambilan sampel sebanyak 10 kali.
Jumlah hasil penetasan yang didapatkan tersebut, merupakan jumlah hasil yang paling sedikit jika dilakukan perbandingan hasil jumlah penetasan cyst artemia terhadap kelompok lain didapatkan hasil pada kelompok 2 jumlah cyst yang menetas yaitu 928 ekor = 10,56%, kelompok 3 yaitu 575 ekor = 6,55%, dan kelompok 4 dengan jumlah 228 ekor = 2,60%.
Perbedaan jumlah penetasan tersebut, disebabkan karena terjadi kekeliruan dalam perlakuan mekanismenya dalam hal ini terhadap peletakan cahaya lampu pada wadah penetasan. Dimana cahaya tersebut berada pada posisi paling bawah dari wadah penetasan sehingga kelompok artemia akan mengikuti arah cahaya tersebut untuk berada pada lokasi bagian wadah, sedangkan dalam pengambilan sampel untuk dilakukannya perhitungan jumlah artemia dilakukan pengambilan pada bagian yang agak jauh dari kondisi cahaya atau lampu yang memungkinkan artemia akan jarang berada pada lingkungan tersebut karena tidak adanya ketertarikan cahaya.




V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan praktikum, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Untuk tingkat penetasan Artemia dalam hal ini terhadap banyaknya jumlah yang dihasilkan yaitu pada metode non dekapsulasi.
2.    Perbedaan jumlah pentasan yang dihasilkan tersebut antara metode dekapsulasi dan non dekapsulasi disebabkan karena penggunaan larutan yang kurang baik untuk memicu proses penetasan cyst tersebut dalam hal ini pada metode dekapsulasi.
3.    Cahaya serta aerator merupaka salah satu komponen terpenting untuk memicu penetasan kultur artemia.

5.2 Saran
Sarannya dalam pelaksanaan praktikum penetasan Artemia, perlu ditambahnya pengamatan tanpa menggunakan cahaya, agar dapat membandingkan tingkat penetasanya terhadap 2 metode tersebut.








DAFTAR PUSTAKA
Bougias, 2008. Pakan   Ikan   Alami. Kanisius. Yogyakarta.
Daulay, T., 1998. Artemia Salina (Kegunaan, Biologi dan Kulturnya). INFIS Manual Seri No.12. Direktorat Jendral Perikanan dan International Development Research, Jakarta.

Harefa, 1996. Laporan Kegiatan Kultur Kopepoda dan Artemia dengan Pakan Fermentasi, Dirjen perikanan BBL Lampung

Mudjamin, A. 2007. Laporan Hasil Latihan Budidaya Artemia. Dinas Perikanan Daerah Propinsi Jatim
Purwakusuma, W. 2008. Artemia Salina. (fish.com/pakanIkan/Artemia.php). Diakses  Pada Tanggal 28 April 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar