I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pakan
atau makanan merupakan salah satu komponen terpenting untuk kehidupan suatu
organisme atau makhluk hidup, dimana pakan atau makanan tersebut merupakan
salah satu penghasil energi untuk melakukan segala aktifitas, dalam hal ini
terhadap kelangsungan hidup organisme akuatik, salah satunya yaitu ikan yang
masih dalam tahap benih. Ukuran tubuh ikan yang masih benih, tentunya untuk
pakannya sendiri, harus sangat memerlukan tekstur pakan yang sangat kecil
dengan kata lain harus memerlukan pakan yang sesuai dengan bukaan mulut ikan,
baik itu pakan buatan seperti pelet maupun pakan hidup atau alami seperti
plankton dan organisme mikroskopis lainya.
Umumnya,
khususnya dalam budidaya ikan, untuk pemberian pakannya sendiri dalam hal ini
terhadap benih ikan yaitu dengan menggunakan pakan hidup, salah satu contohnya
yaitu pakan Artemia. Artemia merupakan salah satu makanan hidup
yang sampai saat ini paling banyak digunakan dalam usaha budidaya seperti udang
dan ikan, khususnya dalam pengelolaan pembenihan, yang dikarenakan sangat
banyak memiliki kelebihan dibanding dengan jenis pakan lainya baik dari
mekanisme pengelolaanya maupun tingkat
kandungan nutrisinya seperti kaya akan protein.
Keunggulan Artemia tidak hanya pada nilai nutrisinya,
tetapi juga karena mempunyai kerangka luar (eksoskeleton) yang sanga tipis, sehingga
dapat dicerna seluruhnya oleh hewan pemangsa. Melihat keunggulan nutrisi
Artemia dibandingkan dengan jenis makanan lainnya, maka Artemia merupakan
makanan udang dan ikan yang sangat baik jika digunakan sebagai makanan hidup maupun
sumber protein utama makanan buatan. Untuk itulah kultur massal Artemia memegang
peranan sangat penting dan dapat dijadikan usaha industri tersendiri dalam
kaitannya dengan suplai makanan hidup maupun bahan dasar utama makanan buatan.
Pada
proses kultur Artemia, kepadatan serta
warna air menjadi indikator banyakanya cyst atau cangkang yang menetas. Oleh
karena itu para pembudidaya harus benar – benar mengelolah dengan baik untuk
hasil yang maksimal. Dalam proses penetasan tersebut, ada yang dikatakan proses
dekapsulasi dan non dekapsulasi. Proses dekapsulasi yaitu merupakan proses
dimana dalam mekanismenya menggunakan bahan kimia sedangkan non dekapsulasi
tidak menggunakan hal tersebut. Kepadatan yang dihasilkan tentu pasti akan
berbeda, oleh karena itu perlu
dilakukannya praktek mengenai penetasan Artemia dengan mengunakan dua perlakuan
berbeda agar praktikan dapat mengetahui secara langsung tentang mekanisme serta
hasilnya dalam hal ini kuantitas atau jumlah Artemia yang menetas.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan
praktikum yaitu sebagai berikut :
1. Untuk
mempelajari cara – cara pengkulturan Artemia dengan proses dekapsulasi dan non
dekapsulasi pada Artemia sebelum dilakukan pengkulturan.
2. Untuk
mengetahui pengaruh perlakuan dekapsulasi dan non dekapsulasi terhadap tingkat
penetasan kista Artemia yang dikultur.
Kegunaanya
yaitu Sebagai tambahan ilmu pengetahuan
secara langsung kepada praktikan tentang seberapa besar pengaruh dari perlakuan
dekapsulasi dan non dekapsulasi terhadap Hatching
Rate Artemia sp.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
Artemia
merupakan udang renik yang tergolong udang primitif. Zooplankton ini hidup
secara planktonik di perairan yang berkadar garam tinggi yakni antara 15 – 300
permil. Sebagai plankton, Artemia tidak
dapat mempertahankan diri terhadap pemangsanya sebab tidak mempunyai alat
ataupun cara untuk membela diri (Mudjiman, 2007).
Gambar
1. Artemia
Menurut Bougis (2008) klasifikasi Artemia adalah sebagai
berikut :
Kingdom
: Animalia.
Phylum : Arthropoda
Subphylum :
Crustacea
Class
: Branchiopoda
Order
: Anostraca
Family
: Artemiidae
Genus
: Artemia
Spesies
: Artemia sp
Kista merupakan tempat atau telur dari Artemia yang
berbentuk bulat kecil dan berwarna coklat. Diameternya
bervariasi antara 224,7-267,0 mikrometer (µm) dan beratnya rata-rata 1,885
mikrorogram (µg). Secara anatomi, susunan kista Artemia terdiri dari dua lapisan yaitu korion dan selaput
embrio. Selaput ini adalah semacam membran atau selaput yang membungkus
embrio (Harefa, 1996).
Gambar
2. Cyst Artemia
Cyste Artemia dapat menetas dalam waktu 24 - 48 jam dalam
massa
inkubasi dan menjadi naupli. Cyste yang diperdagangkan adalah
Artemia yang telah dikeringkan dengan kadar air kurang dari 10% (Daulay, 1998).
inkubasi dan menjadi naupli. Cyste yang diperdagangkan adalah
Artemia yang telah dikeringkan dengan kadar air kurang dari 10% (Daulay, 1998).
Awal
hidup Artemia dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah 15 - 20 jam pada suhu 25° C, kista akan
menetas manjadi embrio. Pada fase ini, embrio akan
menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah akan
bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan akibat
masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan
makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah
12 jam menetas mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva
kedua. Dalam fase ini Artemia sp. akan mulai makan, dengan pakan
berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada
dasarnya Artemia sp. tidak memilih jenis pakan yang dikonsumsinya
selama bahan tersebut tersedia di air dengan ukuran yang
sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa
dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8
mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran
sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya akan mencapi 500 kali
dibandingakan biomas pada fase naupli (Purwakusuma, 2008).
Menurut Daulay (1998),
ada dua metode untuk dilakukan proses penetasan kista Artemia yaitu metode
dekapsulasi dan non dekapsulasi. Metode tersebut bertujuan untuk menghilangkan
lapisan terluar dari kista Artemia yang keras (korion). Perbedaan kedua metode
tersebut hanya terdapat pada penambahan larutan seperti natrium hipoklorit
terhadap metode dekapsulasi, sedangkan non dekapsulasi tanpa menggunakan
larutan tambahan.
Menurut Harefa (1996), untuk melakukan
kegiatan penetasan diperlukan wadah dan perangkat suplai oksigen. Adapun
bentuk wadah untuk penetasan tersebut berupa kerucut dengan ukuran tergantung
kebutuhan. Suplai oksigen dijamin dengan dibuatnya sistem aerasi dalam
wadah. Kepadatan maksimatelur adalah 3 gr/ltr air. Tingkat
kepadatan optimal adalah sekitas 2 – 5 gr/ltr air. Sebagai media tetas
digunakan air yang di campur garam, dengan salinitas antara 30 – 35 ppt dan
suhu air 250- 350C. Dalam keadaan normal, kurang
dari 48 jam kemudian telur akan menetas menjadi bentuk nauplius.
III. METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan
Tempat
Pelaksanaan
Praktikum Penetasan Artemia dilaksanakan pada Hari Kamis, Tanggal 19 April
sampai Hari Jum’at Tanggal 20 April 2012. Dimulai pada Pukul 08.00 WIB.
Bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas
Tadulako.
3.2
Alat dan Bahan
Alat yang
digunakan yaitu sebagai berikut :
Tabel 1. Nama Alat Serta Kegunaanya.
No
|
Nama
Alat
|
Kegunaan
|
1.
|
Botol plastik volume
1,5 liter
|
Untuk wadah penetasan
|
2.
|
Aerator
|
Untuk suplai oksigen
|
3.
|
Timbangan
|
Untuk menimbang
takaran berat artemia
|
4.
|
Akuades
|
Untuk air pembersih
|
5.
|
Petri disk
|
Untuk wadah
penghitungan artemia
|
6.
|
Beaker glass
|
Untuk wadah
perendaman artemia
|
7.
|
Seser halus
|
Untuk alat penyaring
|
8.
|
Mikroskop
|
Untuk identifikasi
artemia
|
9.
|
Lampu
|
Untuk sumber cahaya
|
10.
|
Pipet tetes
|
Untuk pengambilan
sampel artemia
|
11.
|
Termometer
|
Untuk alat pengukur
suhu
|
12.
|
Refraktometer
|
Untuk alat pengukur
salinitas
|
13.
|
Alat tulis menulis
|
Untuk alat mencatat
hasil yang diperoleh
|
Bahan yang
digunakan yaitu Cyst / telur Artemia, air laut, air tawar dan larutan byclin.
3.3
Prosedur Kerja
3.3.1
Metode Dekapsulasi
Cara kerja dari
metode dekapsulasi yaitu sebagai berikut :
1. Timbang
cyst Artemia yang akan ditetaskan sebanyak 3 gram/liter.
2. Hitung
kepadatan cyst yang akan ditetaskan.
3. Hidrasi
/ rendam cyst dengan air tawar dalam beaker glass selama 1 jam.
4. Saring
Artemia dengan plankton net / seser halus lalu masukan ke dalam beaker glass
yang telah berisi larutan cholorine ± 20 ml, aerasi kuat,tunggu hingga 5 menit,
amati dan catat perubahan yang terjadi coklat tua > abu-abu> orange.
5. Saring
cyst dengan menggunakan saringan halus, lalu bilas dengan air tawar hingga bau
klorin benar – benar hilang.
6. Masukan
cyst Artemia ke dalam wadah penetasan dengan aerasi kuat.
7. Amati
dan catat perkembangan cyst setiap 6 jam selama 24 jam.
8. Hitung
derajat penetasan Artemia.
3.1.2 Metode Non Dekapsulasi
Cara
kerja dari metode non dekapsulasi yaitu sebagai berikut :
1. Timbang
cyst Artemia yang akan ditetaskan sebanyak 3 gram/liter.
2. Hitung
kepadatan cyst Artemia yang akan ditetaskan.
3. Hidrasi
/ rendam cyst Artemia dengan air tawar dalam beaker glass selama 1 jam.
4. Saring
artemia dengan plankton net / seser halus dan memasukan ke dalam wadah / tempat
penetasan yang telah disiapkan aerasi kuat.
5. Amati
dan catat perkembangan cyst setiap 6 jam selama 24 jam
6. Hitung
derajat penetasan.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berdasarkan hasil pengamatan
praktikum, maka didapatkan hasil sebagai berikut :
Gambar
3. Wadah penetasan Artemia
Kelompok
1.
Hari/Tanggal/Waktu
|
Non
Dekapsulasi
|
dekapsulasi
|
Kamis
19 April 2012
Pukul:
17:00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
Kamis
19 April 2012
Pukul:
23:00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
Jumat
20 April 2012
Pukul:
05:00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
Kamis
20 April 2012
Pukul:
11: 00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
Menentukan
persen telur yang menetas metode non
dekapsulasi:
Telur
yg menetas dlm 10 ml adl 59 ekor
N
=
N
= 5900
Dik
N = 5900
C
= 878400
Dit
HR= ?
HR=
HR=
HR= 0,67 %
|
Menentukan
persen telur yang menetas metode dekapsulasi:
Telur
yg menetas dlm 10 ml adl 12 ekor:
N
=
N
= 1200
Dik
N = 1200
C
= 878400
Dit
HR= ?
HR=
HR=
HR= 0,14 %
|
Kelompok
2.
Hari/Tanggal/Waktu
|
Non Dekapsulasi
|
Dekapsulasi
|
Kamis
19 April 2012
Pukul:
17:00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
Kamis
19 April 2012
Pukul:
23:00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
Jumat
20 April 2012
Pukul:
05:00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
Kamis
20 April 2012
Pukul:
11: 00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
Menentukan
persen telur yang menetas metode non
dekapsulasi:
Telur
yg menetas dlm 10 ml adl 59 ekor
N
=
N
= 92800
Dik
N = 928
C
= 878400
Dit
HR= ?
HR=
HR=
HR= 10,56 %
Kelompok
3.
|
Menentukan
persen telur yang menetas metode dekapsulasi:
Telur
yg menetas dlm 10 ml adl 12 ekor:
N
=
N
= 1700
Dik
N = 1700
C
= 878400
Dit
HR= ?
HR=
HR=
HR= 0,19 %
|
||
Hari/Tanggal/Waktu
|
Non
Dekapsulasi
|
Dekapsulasi
|
|
Kamis
19 April 2012
Pukul:
17:00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
|
Kamis
19 April 2012
Pukul:
23:00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
|
Jumat
20 April 2012
Pukul:
05:00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
|
Kamis
20 April 2012
Pukul:
11: 00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
|
Menentukan
persen telur yang menetas metode non
dekapsulasi:
Telur
yg menetas dlm 10 ml adl 59 ekor
N
=
N
= 57500
Dik
N = 57500
C
= 878400
Dit
HR= ?
HR=
HR=
HR= 6,55 %
Kelompok
4.
|
Menentukan
persen telur yang menetas metode dekapsulasi:
Telur
yg menetas dlm 10 ml adl 12 ekor:
N
=
N
= 100
Dik
N = 100
C
= 878400
Dit
HR= ?
HR=
HR=
HR= 0,01 %
|
||
Hari/Tanggal/Waktu
|
Non
Dekapsulasi
|
Dekapsulasi
|
|
Kamis
19 April 2012
Pukul:
17:00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
|
Kamis
19 April 2012
Pukul:
23:00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
|
Jumat
20 April 2012
Pukul:
05:00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
|
Kamis
20 April 2012
Pukul:
11: 00 Wita
|
1.
2.
3.
|
1.
2.
3.
|
|
Menentukan
persen telur yang menetas metode non
dekapsulasi:
Telur
yg menetas dlm 10 ml adl 59 ekor
N
=
N
= 22800
Dik
N = 22800
C
= 878400
Dit
HR= ?
HR=
HR=
HR= 2.60 %
|
Menentukan
persen telur yang menetas metode dekapsulasi:
Telur
yg menetas dlm 10 ml adl 12 ekor:
N
=
N
= 2300
Dik
N = 2300
C
= 878400
Dit
HR= ?
HR=
HR=
HR= 0.26 %
|
4.2 Pembahasan
4.2.1 Metode Dekapsulasi
Berdasarkan
hasil pengamatan praktikum mengenai penetasan cyst Artemia dengan menggunakan
metode dekapsulasi, dimana pada metode ini dilakukan penambahan larutan byclin
sebanyak 25 ml, didapatkan hasil bahwa pada pukul 23.00 WITA yaitu pada
pengamatan kedua berdasarkan hasil pengamatan, cyst sebagian sudah mengalami
penetasan telur. Kemudian setelah 24 jam berlangsung, maka dilakukan
penghitungan sampel cyst yang menetas, dimana jumlah cyst yang menetas sebanyak 12 ekor atau
hanya 0,14%, dengan salinitas 30 ppm dan suhu 280 C, dimana hasil
tersebut merupakan gabungan pengambilan sampel sebanyak 10 kali.
Selanjutnya,
jika dilakukan perbandingan hasil jumlah penetasan cyst artemia terhadap
kelompok lain didapatkan hasil pada kelompok 2 jumlah cyst yang menetas yaitu
17 ekor = 0,19%, kelompok 3 yaitu 1 ekor = 0,01%, dan kelompok 4 dengan jumlah
23 ekor = 0,26%. Jika dilihat dari hasil
setiap kelompok tersebut, jumlah cyst yang paling banyak menetas yaitu pada
kelompok 4, sedangkan untuk jumlah penetasan yang sedikit yaitu pada kelompok
3.
Berdasarkan hasil praktikum,
setelah dilakukan pengamatan ternyata salah satu yang menjadi faktor tinggi dan rendahnya jumlah cyst yang
dihasilkan yaitu dipengaruhi oleh cahaya yang merupakan salah satu faktor
pemicu penetasan artemia. Dimana untuk jumlah penetasan yang sedikit setelah
dilakukan pengamatan pada saat perlakuan, cahaya atau lampu berada pada posisi
paling bawah, sehingga artemia mengikuti arah cahaya tersebut berada pada
posisi paling bawah, sedangkan dalam pengambilan sampel dengan menggunakan
pipet tetes mengambil pada bagian tengah dari wadah penetasan artemia tersebut
yang agak jauh dari cahaya, sehingga secara otomatis kuantitas atau jumlah
hasil yang diperoleh sangat sedikit disbanding kelompok yang memiliki jumlah
artemia yang banyak.
4.2.2 Metode Non Dekapsulasi
Berdasarkan
hasil pengamatan praktikum mengenai penetasan cyst Artemia dengan menggunakan
metode non dekapsulasi, dimana pada metode ini tidak dilakukannya penambahan
larutan byclin, didapatkan hasil bahwa pada pukul 17.00 WITA yaitu pada
pengamatan pertama berdasarkan hasil pengamatan, cyst sebagian sudah mau
mengalami penetasan telur, dimana terlihat sudah terjadi pembelahan cyst.
Kemudian setelah 24 jam berlangsung, maka dilakukan penghitungan sampel cyst
yang menetas, dimana jumlah cyst yang
menetas sebanyak 59 ekor atau hanya 0,67%, dengan salinitas 31 ppm dan suhu 290
C, dimana hasil tersebut merupakan gabungan pengambilan sampel sebanyak
10 kali.
Jumlah
hasil penetasan yang didapatkan tersebut, merupakan jumlah hasil yang paling
sedikit jika dilakukan perbandingan hasil jumlah penetasan cyst artemia
terhadap kelompok lain didapatkan hasil pada kelompok 2 jumlah cyst yang
menetas yaitu 928 ekor = 10,56%, kelompok 3 yaitu 575 ekor = 6,55%, dan
kelompok 4 dengan jumlah 228 ekor = 2,60%.
Perbedaan jumlah penetasan
tersebut, disebabkan karena terjadi kekeliruan dalam perlakuan mekanismenya
dalam hal ini terhadap peletakan cahaya lampu pada wadah penetasan. Dimana
cahaya tersebut berada pada posisi paling bawah dari wadah penetasan sehingga
kelompok artemia akan mengikuti arah cahaya tersebut untuk berada pada lokasi
bagian wadah, sedangkan dalam pengambilan sampel untuk dilakukannya perhitungan
jumlah artemia dilakukan pengambilan pada bagian yang agak jauh dari kondisi
cahaya atau lampu yang memungkinkan artemia akan jarang berada pada lingkungan
tersebut karena tidak adanya ketertarikan cahaya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pengamatan praktikum, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Untuk tingkat penetasan
Artemia dalam hal ini terhadap banyaknya jumlah yang dihasilkan yaitu pada
metode non dekapsulasi.
2.
Perbedaan jumlah
pentasan yang dihasilkan tersebut antara metode dekapsulasi dan non dekapsulasi
disebabkan karena penggunaan larutan yang kurang baik untuk memicu proses penetasan
cyst tersebut dalam hal ini pada metode dekapsulasi.
3.
Cahaya serta aerator
merupaka salah satu komponen terpenting untuk memicu penetasan kultur artemia.
5.2 Saran
Sarannya
dalam pelaksanaan praktikum penetasan Artemia, perlu ditambahnya pengamatan
tanpa menggunakan cahaya, agar dapat membandingkan tingkat penetasanya terhadap
2 metode tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Bougias, 2008. Pakan Ikan
Alami. Kanisius.
Yogyakarta.
Daulay, T., 1998. Artemia Salina (Kegunaan, Biologi dan Kulturnya).
INFIS Manual Seri No.12. Direktorat Jendral Perikanan dan International
Development Research, Jakarta.
Harefa, 1996. Laporan Kegiatan Kultur Kopepoda dan Artemia
dengan Pakan Fermentasi, Dirjen perikanan BBL Lampung
Mudjamin, A. 2007. Laporan Hasil Latihan Budidaya Artemia.
Dinas Perikanan Daerah Propinsi Jatim
Purwakusuma, W. 2008. Artemia Salina. (fish.com/pakanIkan/Artemia.php).
Diakses Pada Tanggal 28 April 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar